Rabu, 07 Agustus 2019

LOGO INDEKSASI JURNAL






















Senin, 29 Oktober 2018

REFLEKSI PERKULIAHAN FILSAFAT PENDIDIKAN

REFLEKSI PERKULIAHAN FILSAFAT PENDIDIKAN
"Skenario Hidup: Awal dan Akhir Jaman"


Pendahuluan
Filsafat pendidikan merupakan salah satu mata kuliah yang harus disantap pada semester pertama mahasiswa Doktoral Program Studi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan (PEP) di Pascsarjana Universitas Negeri Yogyakarta. Ruang I.02.5.01.07 dan waktu 11.10 WIB menjadi saksi bahwa di tempat dan diwaktu itu telah terjadi interaksi antara mahasiswa dan Prof. Marsigit, MA, yang merupakan dosen pengampu mata kuliah ini. Interaksi keduanya tergambarkan melalui tes jawab singkat, mengumpulkan pertanyaan, atau meminta langsung mahasiswa untuk bertanya terkait tes jawab singkat ataupun elegi-elegi dari Prof. Marsigit yang dapat diakses pada blog powermathematics.blogspot.com.

Tes Jawab Singkat: Proses Nullisasi Ego
Dalam proses tes jawab singkat dengan Prof. Marsigit, filsuf ternama-pun akan dibuat tidak berdaya dengan capaian skor 0 ketika merespon pertanyaan darinya. Banyak mahasiswa yang bertanya-tanya, “ada apa dan kenapa harus 0?”, sang dewa (julukan Prof. Marsigit) menjawab dengan tertawa sembari disusul kutipan “bahwa sebenar-benarnya jawaban dari sebuah pertanyaan adalah pikiranmu dan penjelasanmu”. Jawabanku hari ini dan jawabanku esok hari ini tidak akan sama, tergantung pikiranku dan penjelasanku saat itu, sambungnya. Menurut sang dewa, dalam mempelajari filsafat ilmu tidaklah dibutuhkan ego yang tinggi, yang dibutuhkan adalah ego yang rendah agar dapat memahami dan menerimanya. Dan tes jawab singkat ini adalah proses “nullisasi-ego” atau proses menurunkan kadar ego tersebut ke-tingkat yang lebih rendah.

Belajar dari Elegi: Tentang Keikhlasan
Saat berselancar di dunia maya pada halaman blog powermathematics.blogspot.com, ada banyak santapan ilmu yang disajikan dan menarik untuk diselami. Dari sekian banyak santapan tersebut saya jatuh hati pada santapan keikhlasan, “Mengapa?” Alasannya karena santapan ini lebih dari 40 episode disajikan dalam blog sang dewa. Episode yang paling menarik dan menyentuh buat saya ketika kikhlasan itu sendiri dikaitkan dengan sebuah “batu”, sederhana namun mendalam. Lihatlah ketenangan batu di sekitar kita, namun ketika ditendang atau diambil kemudian dilemparkan apakah dia pernah bergejolak untuk marah atau menolak? Batu itu tetap menerimanya tanpa harus mengatakan “saya ikhlas untuk ditendang atau dihenpaskan”, dan itulah yang sebenar-benarnya keikhlasan. Pergeseran dari posisi awal ke posisi lain merupakan proses yang harus diterimanya, dan itu adalah bagian dari proses menuju kesempurnaannya.

Pembahasan
Filsafat adalah pola pikir (digambarkan dengan garis imajiner dalam pikiran) awal dan akhir jaman. Jadi, obyek filsafat melahirkan aliran filsafat yang terdiri atas yang bersifat tetap dan bersifat berubah. Yang tetap adalah permenides dan yang berubah adalah heraditos.Yang tetap menuju ideal, yang ideal menuju transend dan berada diatas garis imajiner. Yang bersifat berubah adalah kenyatan atau yang bersifat real sehingga diperolehlah aliran realisme. Kalau yang tetap bersifat satu maka disebut mono dan kalau yang tetap bersifat banyak berarti plural. Akan tetapi plural kemudian tenggelam di bawah garis imajiner sehingga disana adalah relatif saja, lahirlah pluralisme. Pluralisme merupakan urusan dunia, sedangkan tetap, ideal, transend dan spiritual merupakan urusan akhirat. Yang ideal dan tetap bersifat logis dan logis bersifat pikiran dan berada dalam pikiran. Karena logis, maka sifat yang lain adalah konsisten memakai pikiran dan logika. Kebenarannya bersifat koheren. Sedangkan pluralisme, hukum sebab akibat yang bersifat nyata dan bersifat persepsi atau indra. Maka, nantinya akan melahirkan sifatnya empiris atau mencoba. Kebenarannya bersifat cocok atau korespondensi.

Hidup itu adalah awal dan akhir jaman, kemudian interaksi antara wadah dan isinya. Wadah terletak diatas garis imajiner dan isi terletak dibawah garis imajiner. Maka sebenar-benarnya isi adalah bayangan dari wadahnya. Wadahnya berupa pikiran, hati dan firman Tuhan. Seperti yang lain, rumus matematika adalah wadahnya sedangkan contoh-contoh adalah isinya. Yang aku lihat, yang aku dengar, dan yang aku jalani itu semua adalah bayangan dari pikiranku, mereka semua akan hilang begitu aku tidur. Sebenar-benarnya kita berpikir adalah berpikir yang ada dan yang mungkin ada. Maka sebenar-benar dunia, tidak lain tidak bukan adalah pikiran kita masing-masing. Jadi kalau ingin melihat dunia, maka tengoklah pada pikiran kita masing-masing. Tidak mudah bisa melihat pikiran sendiri, hanya melalui kuliah filsafat.

Maka unsur-unsurnya adalah rasionalisme (Rene Descartes) dan empirisme (D.Hume). Nah sampailah pada aliran modern sebelum jaman modern sekitar 1500-1600, muncul dua aliran besar jaman itu adalah paham rasionalisme Rene Descartes dan empirismenya D.Hume. Tokoh-tokohnya yang ada saat itu ada Socrates, Plato (dunia wadah), Aristoteles(dunia isi). Wajar saja Aristoteles membantah gurunya Plato bahwa sebenar-benar ilmu kenyataan, menurut Plato sebenar-benar ilmu adalah pikiran. Maka David Hume menyatakan bahwa sebenar-benar ilmu adalah pengalaman. Sebenar-benar ilmu menurut Rene Descartes adalah Rasio. Tiadalah ilmu kalau tanpa rasio, tiadalah ilmu kalau tanpa pengalaman.

Hei hei Rene Descartes dan David Hume, kalian orang hebat, rasionalism hebat, empirism juga hebat, tapi masing-masing mempunyai kelemahan. Rene Descartes mendewa-dewakan rasio dan melupakan pengalaman. David Hume kelemahannya adalah mendewa-dewakan pengalaman tapi lupa akan rasio. Aku punya teori, kata Immanuel Kant (1671). Aku tidak akan menelan mentah teorimu (Rene D dan D.Hume) tapi aku akan membreak-down, menurutku ilmu rasio terdiri atas analitik a priori dan pengalaman adalah sintetik a posteriori. Sebenar-benar ilmu menurut Kant adalah Sintentik A Priori. Jadi dari teori Descartes diambil A priori sedangkan dari D.Hume diambil Sintetiknya. Sebenar-benar ilmu adalah logika dibangun diatas pengalaman. Maka, matematika aksiomatik atau formalisme menurut Kant belum sebagai ilmu. Sedangkan matematika sekolah atau matematika empirism juga belum sebagai ilmu.

Memasuki jaman modern, di awal 1857, tokoh yang terkenal adalah Auguste Compte. yang memandang bahwa ilmu-ilmu sebelumnya tidak ada gunanya (meaningless atau nonsense) karena menurutnya yang diperlukan sekarang adalah membangun dunia untuk kesejahteraan umat. Ingat bahwa berfilsafat harus dilandasi dengan spritual dan menetapkan hati sebagai komandan. Hal ini dikarenakan Compte menyatakan bahwa menurutnya membangun dunia mempunyai struktur dimana agama tidak dapat dijadikan landasan untuk membangun dunia karena agama itu tidak logis oleh karena itu diletakkan di bawah struktur diikuti filsafat, dan positive atau saintifik. Seandainya Menteri Pendidikan belajar filsafat mungkin dia tidak jadi membuat Kurtilas setelah melihat struktur membangun dunia Compte. Karena saintifik dibuat oleh Auguste Compte yang notabene meminggirkan agama. Tenyata fenomena yang kita alami sekarang adalah fenomena Auguste Compte.

Dalam konteks Indonesia, struktural membangun dunia adalah Material, Formal, Normatif dan Spiritual. Garis imajiner terus yang merupakan narasi besar atau kecenderungan dunia dalam peta pendidikan dunia yang telah dipaparkan dalam blog Prof. Marsigit. Dari positivisme Compte attau saintifik muncullah berbagai macam ilmu bidang yang kesemuanya pakai logi-logi seperti biologi, psikologi dan sebagainya. Tapi disana justru terbalik menjadi natural, karena agama diturunkan sehingga terjadi anomali di masyarakat, ilmu natural ada diatas dan humaniora ada di bawah. Ilmu-ilmu natural seperti matematika murni, fisika murni, biologi murni dan semua ilmu-ilmu dasar ditopang oleh positive research. Sehingga diyakini juga ketika membuat smartphone merk tertentu ditopang oleh research sehingga lupa akan keberadaan Allah SWT. Tetapi hasilnya mengagumkan karena bisa membangun dunia. Ternyata mereka sedang berjuang membuktikan bahwa membangun dunia tidak perlu memakai agama karena tidak logis untuk membangun dunia sehingga memakai metode positive saintifik.

Penutup
Satu hal yang selalu ditekankan Prof. Marsigit ketika memulai perkuliahan filsafat pendidikan, agar selalu menguatkan keimanan dengan cara sering-sering ber-istighfar ketikan akal kita sudah tidak mampu menembus ruang dan waktu. Karena yang sebenar-benarnya kebahagiaan dalam menuntut ilmu adalah yang sesuai dengan ruang dan waktu.

Kartianom, M.Pd.
Prodi PEP-S3 PPs UNY 2018
18701261001